Tahukah dirimu, Kawan? Langit adalah sebuah keluarga.
Anaknya ada dua, Angin dan Awan. Ayahnya adalah Matahari. Ibunya Bulan.
Angin senang berkeliaran sesukanya, melesat ke selatan, menggoda ilalang, berputar di atas ombak,
terlambung tinggi ke angkasa, lalu berpencar ke delapan penjuru. Jika sore, ayahnya, Matahari,
memanggilnya dan kita mendapat senja yang indah. Jika malam, Angin tak berhembus karena Bulan
memeluk anak bungsunya.
Awan adalah anak perempuan yang suka bersedih. Oleh karena itu, manusia bisa mengajak Awan
bercakap-cakap. Jika awan gelap dan manusia tidak memginginkan hujan, Awan bisa dibujuk.
Berhentilah sejenak di mana pun kau berada, tataplah Awan dan berbicaralah dengannya agar dia
menunggu sebentar saja sampai engkau sampai di rumah.
Akan tetapi kau hanya bisa membujuk Awan dengan puisi dan puisi itu harus kau nyanyikan.
Seperti ini nyanyiannya:
"Wahai Awan
Aku ingin sekolah, janganlah dulu kau turunkan hujan
Ajaklah Angin, untuk menerbangkanmu ke selatan
Wahai Awan
Janganlah dulu kau turunkan hujan
Wahai Awan, kuterbangkan layang-layang untukmu"
*Sepotong kisah dalam novel Ayah karya Bang Andrea
browse here
Rumah
Yang tadinya kukira rumah, nyatanya tak mampu mengayomi.
Inilah mengapa aku kembali pergi,
pulang adalah alasanku sejenak singgah untuk memastikan: benarkah kau rumahku, aku rumahmu.
Nyatanya tidak.
Aku tidak menemukan ketenangan saat aku menemuimu.
Aku tidak merasa aman saat seharusnya nyaman bersamamu.
Aku tidak menjumpai rindu saat tak lagi jumpa denganmu.
Aku pulang untuk memastikan: apakah kita bisa saling meneduhkan dan menghangatkan, sebagaimana mestinya rumah.
11 Juli 2018
Inilah mengapa aku kembali pergi,
pulang adalah alasanku sejenak singgah untuk memastikan: benarkah kau rumahku, aku rumahmu.
Nyatanya tidak.
Aku tidak menemukan ketenangan saat aku menemuimu.
Aku tidak merasa aman saat seharusnya nyaman bersamamu.
Aku tidak menjumpai rindu saat tak lagi jumpa denganmu.
Aku pulang untuk memastikan: apakah kita bisa saling meneduhkan dan menghangatkan, sebagaimana mestinya rumah.
11 Juli 2018
Kembali Menjadi Anak Ibu
Aku ingin
kembali ke saat-saat aku belum memiliki apapun, termasuk diriku sendiri
Aku rindu...
Rindu berjuang
menemukan kesejatian diri yang terus meranggas
Diterpa kemarau
kehidupan
Menghalau
teriknya persaingan
Mengatasi persoalan
hidup yang melebat, diselingi gemuruh kekecewaan dan penyesalan
Aku ingin
kembali ke saat-saat aku masih menghargai apapun, termasuk diriku sendiri
Aku rindu...
Rindu memanjakan
diri dalam pelukan Ibu yang menjadi tempat pulang
Berkeluh kesah
tentang kepenatan hidup
Meninabobokkan
keresahan
Membiarkan diri
larut dalam ketenangan yang sejenak terenggut
Aku ingin
kembali ke saat-saat aku mengenal diriku sendiri
Aku rindu
memahami diri dan inginku
Aku rindu
menjadi bocah kecil dan kembali disebut “Anak Ibu”
Pakualaman,
28 September
2018
Rumahmu adalah Hatimu
Suatu
kali, aku mengunjungi rumahmu. Mendekati daun pintu yang tertutup rapat.
Perlahan, kucoba ketuk pintu itu -penuh ragu.
Tok..
tok.. hening. Tak ada jawaban.
Tok..
tok.. tok.. tetap hening. Tidak ada jawaban.
Aku
mulai menyesali keputusanku mendekati rumahmu, mengunjunginya. "Mungkin
seharusnya aku pergi. Tidak, seharusnya aku tidak kemari," pikirku.
Suatu
hari aku melewati rumahmu lagi, terpikir kembali untuk mengetuk pintumu. Ragu,
aku mendekat. Mengepalkan tangan dan perlahan mengayunkan ke daun pintu.
Tok..
tok.. hening.
Tok..
tok.. tok.. tak ada jawaban.
Cukup.
Aku pergi.
Lalu
belum genap langkahku beranjak dari pintumu, kau datang dari arah luar. Kukira
kau terkejut melihat keberadaanku. Namun nyatanya kau terlihat gembira -entah,
apa hanya perasaanku saja.
Kau
menyambutku, menyilakan aku duduk di sofa ruang keluarga -dan bukan ruang tamu.
Kau berkata-kata seolah telah lama menanti kepulanganku. Tunggu, mengapa
kepulanganku? Mengapa bukan kedatanganku?
Katamu,
kau berharap aku akan selalu pulang ke rumahmu. Katamu, kau akan selalu
menungguku di rumahmu. Katamu, kau akan membuatku merasa nyaman dan aman ketika
aku ada di rumahmu, di dekatmu.
Aku
tidak tahu mengapa aku secara spontan mengatakan bahwa aku pernah
mengunjungimu, mengetuk pintumu tapi tidak ada jawaban. Aku katakan padamu
bahwa saat kau melihatku di depan pintumu tadi bukanlah kali pertama aku ke
mari. Aku berkata padamu bahwa aku telah mengetuk pintumu berulang kali. Namun
hanya hening, tidak ada jawaban.
"Sepertinya
aku sedang keluar saat itu. Mencarimu," katamu padaku. Mengapa kau
mencariku?
Kau
bilang, bukankah sudah jelas alasannya seperti yang kau katakan tadi. Tapi aku
masih tidak memahamimu.
"Aku
selalu menanti kepulanganmu. Tapi kau tidak kunjung pulang," katamu dengan
nada sedih. "Maka aku mencarimu untuk menjemputmu pulang," sambungmu
dengan senyuman lebar yang belum pernah kulihat.
Mengapa?
Mengapa begitu? Mengapa kau tersenyum seperti itu?
"Kau
tahu, sesungguhnya aku telah lama mengetuk pintumu, tapi sepertinya kau tidak
tahu. Lalu kau datang menghampiriku, mengetuk pintuku. Tapi sebenarnya, kau
telah mengetuknya dari dalam."
Apa
maksudmu?
"Kau
sudah di dalam rumahku. Kau sudah masuk bahkan sebelum kuizinkan. Kau sudah ada
di hatiku bahkan tanpa mengetuk pintuku! Apa kau tak mengerti juga?"
-30/9/18
Langganan:
Postingan (Atom)