browse here

Menggugat Tuhan

Tuhan, harus ke mana lagi aku mengadu
jika suaraku t'lah dianggap pengganggu?
Berbusa mulut menuntut hidup
hanya kata "Tunggu!" yang jadi jawab, cukup

Gugatku mereka abaikan
hanya janji janji dan janji baru yang tak berujung pembuktian

Kepada siapa lagi harus kupasrahkan asaku
jika mereka tak lagi menganggapku?
katakan padaku, Tuhan, hal apa yang masih menjadi hakku?

Maka izinkan aku, sekali saja
untuk menggugatMu atas hidupku

Teruntuk Tuhanku yang Terkasih

Tuhanku yang MahaBaik, terima kasih atas setiap kebaikan yang selalu Kau sisipkan dalam hidupku.

terima kasih pada Sang Pemberi Rasa, atas tiap rasa yang sempat kurasa.
terima kasih pada Maha Cinta, yang telah meniupkan rasa cinta di hatiku sehingga buatku jadi seorang pecinta.
terima kasih pada Sang Pencipta, karena menciptaku sedemikian rupa agar aku mampu jadi perantara ciptaan-ciptaanNya kelak.

Lalu...
seseorang memberi tahuku doa paginya:
Tuhanku yang Terkasih, maafkan aku.
aku tak pernah berjanji untuk tidak bermaksiat lagi, tapi aku selalu berjanji untuk segera bertaubat jika aku berbuat maksiat.

dulu sempat kutuliskan, bahwa:
Tuhan tidak tersakiti oleh pengingkaranmu. Ia tersakiti oleh kepura-puraanmu menyembahNya.

jadi, Tuhanku, kuucap berkali-kali atas setiap kebaikan yang selalu Kau sisipkan dalam hidupku.

lelah

melelahkan memperjuangkan segalanya seorang sendiri.
bersahabat dengan rasa sakit dan kecewa.
berteman sepi dan sunyi.
kau, acuh dengan segala rasaku.
berpaling sudah dari janji dan sumpah yang kau ikrar 'tuk setia,
seiya sekata bersama dalam satu rama.
kau, abai pada semua asaku.
tinggalkan luka lengkapi duka membuang suka,
dan tak kunjung kau beriku bahagia.
lelah, lelah, lelah.
berulang kali kuucap kata itu.
terasa lelah menantimu.namun tak jua aku merasa lelah mencintaimu.

hanya rangkaian kata

Tuhanku telah beriku kebebasan
setelah menahun kutanggung pedih seorang sendiri
Tuhanku telah beriku kemerdekaan
yang kudapat setelang ajal mengetuk diri
Duh, Ibu, andai kautahu telah betapa hina anakmu ini
menanggung aib yang kian menggunung
Sampaikan pada pemimpinmu, Ibu
betapa aku telah tak ia hargai
Tuntut ia, Ibu, tuntut
Gugatlah ia untukku, Ibu
Sampaikan padanya tentang hakku sebagai wanita
Sampaikan padanya tentang perlindungan yang semestinya kuterima
Ampuni aku, Ibu, jika telah sebabkan duka di hatimu
Hanya tuhanku, Ibu yang mampu bebaskan aku dari pedihnya maluku terhadapmu, jua terhadap-Nya
Hanya tuhanku yang bisa merdekakan aku dari aibku, Ibu


December, 3 - 2014

Selamat siang, Kekasih...

Aku hanya seorang yang lugu, bersabar untuk terus menantimu. Entah sampai kapan penantianku ‘kan bersambut.
Layaknya kincir angin, munculnya namamu dalam layar biruku adalah angin yang mampu membuatku kembali berfungsi sebagaimana mestinya aku dicipta. Meski kau hanya berlalu tanpa sekali pun memandangku.
Berlebihan jika aku mendambamu menyentuhku sama ketika dulu aku mengangkatmu ketika kau terpuruk. Berlebihan jika aku memintamu segera kembali menjadi milikku.
Aku tak lagi peduli dengan sesuatu yang dulu kau janjikan, yang bisa jadi aku hanyalah satu dari sekian banyak janjimu. Peduliku hanya tentang bagaimana aku harus menyisihkan waktuku, untuk menantimu. Menyingkirkan rasa lelahku, untuk menantimu. Membuang pikiran burukku, untuk berpikiran baik tentangmu selama masa penantianku.
Sudah kukatakan aku hanyalah seorang yang lugu, yang tak lagi mengerti apa pun selain menantimu. Entah sampai kapan kau kembali kepadaku.
Bukankah setiap orang memiliki hak dan kewajiban atas hidupnya? Begitu pula denganku, aku berhak untuk terus menantimu. Karena bagiku, wajibku adalah setia (menanti)mu. Sekali pun aku tidak tahu berlakukah hak dan kewajiban yang sama terhadap hidupmu.

Selamat siang, Kekasih... semoga kita segera kembali berjodoh agar tak kurasa kecewa setelah penantianku yang entah kapan ‘kan berujung ini....

bincang sore kami

“Adakah yang ingin kau bagi denganku?”
“Tentu.”
“Apakah itu?”
“Kebahagiaan.”
“Kebahagiaan yang seperti apa?”
“Entahlah.”
“Entahlah?”
“Ya.”
“Mengapa entah?”
“Karena aku belum tahu seperti apa. Aku sedang mencarinya.”
"Lalu, kapan kau akan berhenti mencari?”
“Bila aku sudah menemukannya.”
“Kapan kau akan berhasil menemukannya?”
“Secepatnya.”
“Secepatnya?”
“Ya. Dan semoga saja ini yang terakhir.”
“Terakhir bagaimana maksudmu?”
“Terakhir aku mencari untuk kemudian menemukan, lalu akan kubagi kebahagiaan itu.”
“Mencari siapa? Dan memukan apa? Apa yang sesungguhnya kau maksud? Ini semua tentang apa?”
“Tentu saja tentang kau. Sejak tadi yang kita bicarakan adalah tentang kau, dan aku –kita.”
“Aku masih saja tidak mengerti.”

“Bukankah tadi kau bertanya tentang adakah yang ingin kubagi denganmu? Tentu saja ada, kebahagiaan. Tapi kebahagiaan yang seperti apa aku belum tahu, aku sedang mencarinya. Tapi satu yang pasti, aku berharap kaulah yang menjadi terakhir bagiku, dan akan terus kubagi bahagiaku denganmu.”
Namaku Jingga, dan aku mencintai senja tepat sejak tiga tahun yang lalu. Saat itu, aku sedang melakukan perjalanan sepulang dari kerja. Sore hari langit masih terang, meski surya beranjak ke peraduan. Aku berjalan patah-patah merasakan lelah dan penat. Sumpeknya hati dan ruwetnya akal buatku tak konsen menghadapi jalan. Lalu kakiku beradu dengan gunungan buku. Tak sengaja satu dua telah ada di bawah runcingnya heelsku.
Bersungut-sungut, maaf terlontar tak tulus. Dan aku paham betul, manusia di sisi lain dariku yang beberapa saat tadi menyadari kecerobohannya dan sedikit merasa tak enak, sedang tersinggung dengan sikapku. Sadar, dengan rela –tak rela aku membantu. Dan tepat pada buku terakhir ia menatapku, berujar terima kasih yang secara refleks aku menoleh ke arahnya dan kudapati senja di balik punggungnya.
Senja di balik punggungnya! Siluet pada wajahnya, memburamkan raut. Tapi aku yakini ia begitu elok. Ini senja terbaik yang pernah kusaksikan dan kuperhatikan. Senja, adalah latar belakang pertemuan kita. Senja, adalah hal pertama yang ku akui istimewanya. Dan Senja, adalah namamu.
Tiga tahun ini kulalui dengan kesia-siaan. Setiap senja kutunggui kau di tempat ini. Trotoar panjang dengan rindang pohon yang menggugur. Toko buku di sisi kanan, sebuah cafe di sudut pertigaan tepat lima langkah dari tempatku berdiri sekarang. Di sini, tempat kita pernah menyempatkan diri untuk berhenti meski hati menggerutu sebal. Dan kemudian duduk terpojok di sudut cafe, menghabiskan senja yang tinggal sepertiga waktunya, sambil memandangi Senja yang asik dengan buku berstempel sepatu hak tinggiku.
Satu senja, satu pertemuan. Senja yang kunikmati pertama, satu-satunya pertemuan yang kupunya. Bahkan hingga kini, tepat tiga tahun, tepat di tempat yang sama. Selama apa pun aku menunggu, sesabar apa pun aku menanti. Selamanya kau hanya siluet yang menumpang lewat di senjaku. Dan akulah jingga itu..

Yogyakarta, 22 Mei 2014

Tentang Tanyaku pada Jawab Hatinya


 Melambai pada sekumpulan waktu lalu
Berbaris masa menanti sapa
Adakah kau di dalamnya?

*Aku tahu bagaimana
Setahuku, esok pun bukan terjadi berkat pikiran dan perkiraanku

Barisan kata menyeruakkan tanya
Berbuih busa mulut berujar jawab
Namun tanya masih tetap menjadi tanda dalam benak

*Ah aku tak tahu di mana ujung ingin tahumu menepi
Tapi sudahlah jangan kau panjang kata

dan tanyaku masih menjadi tanya
menggantung pada benak
tanpa tahu kapan 'kan terjawab

Hentikan kata mengandung tanya
Angkuhmu cukup menjadi jawab

Tak ingin kuperpanjang
Karena tanya tetaplah terka jawabnya
Usah pula kau beriku tanya
Sebab jawab tetap ‘kan tiada

(Juni, 01-02 2014)

tentangmu

Terpenuhi sudah tanggunganku selarut ini
Potretmu tetap kusanding, di ujung meja bersama secarik kertas dan pena
Berseberangan dengan secangkir kopi hangat kesukaanmu
Tertebus sudah janjiku
‘tuk menyertaimu kala kalut menyerbu ruang-ruang pikirku
Begitu banyak beban tlah kita tanggung, hingga kini, hingga nanti
Setelah ketiadaanmu dari sisi nyataku
Terhenyak
Malam semakin larut
Pikirku semakin kusut
Terduduk di depan meja kerja, kutatap potret wajahmu
Senyum itu, hanya kutemui dalam khayalku
Setidaknya kau selalu ada, dalam bingkai temani malam tunaikan wajibku
Bersama secarik kertas, pena, dan kopi kesukaanmu
Dan kita ulang-ulang kenangan kita
Karena itulah wajibku, tanggunganku..

21052014

curahanku pada Ibu

Menangis aku karenanya, Ibu
Menderas isak tersendat kata
Tak kuasa penjelasan meluncur dari keluku

Beri aku jawab, Ibu
Agar kuasaku terbitkan senyum
yang terkulum begitu kudengar tentangnya

Tanyaku meradang dalam nyeri hati
Sendu dan kelu berpadu pada tanya yang kian meluas
melebar pada kata yang tak kunjung terucap darinya

Adakah aku dalam benaknya, Ibu?
Adakah sekali saja, ada inginnya ‘tuk kenali aku, Ibu?

Tanyaku membesar
Membenak dalam dalam pikir
Terolah resah menerka jawab
Ragu
Bimbang
Dan tanyaku tetaplah tanya yang kian membesar


Juni, 13 2014