browse here

bincang sore kami

“Adakah yang ingin kau bagi denganku?”
“Tentu.”
“Apakah itu?”
“Kebahagiaan.”
“Kebahagiaan yang seperti apa?”
“Entahlah.”
“Entahlah?”
“Ya.”
“Mengapa entah?”
“Karena aku belum tahu seperti apa. Aku sedang mencarinya.”
"Lalu, kapan kau akan berhenti mencari?”
“Bila aku sudah menemukannya.”
“Kapan kau akan berhasil menemukannya?”
“Secepatnya.”
“Secepatnya?”
“Ya. Dan semoga saja ini yang terakhir.”
“Terakhir bagaimana maksudmu?”
“Terakhir aku mencari untuk kemudian menemukan, lalu akan kubagi kebahagiaan itu.”
“Mencari siapa? Dan memukan apa? Apa yang sesungguhnya kau maksud? Ini semua tentang apa?”
“Tentu saja tentang kau. Sejak tadi yang kita bicarakan adalah tentang kau, dan aku –kita.”
“Aku masih saja tidak mengerti.”

“Bukankah tadi kau bertanya tentang adakah yang ingin kubagi denganmu? Tentu saja ada, kebahagiaan. Tapi kebahagiaan yang seperti apa aku belum tahu, aku sedang mencarinya. Tapi satu yang pasti, aku berharap kaulah yang menjadi terakhir bagiku, dan akan terus kubagi bahagiaku denganmu.”
Namaku Jingga, dan aku mencintai senja tepat sejak tiga tahun yang lalu. Saat itu, aku sedang melakukan perjalanan sepulang dari kerja. Sore hari langit masih terang, meski surya beranjak ke peraduan. Aku berjalan patah-patah merasakan lelah dan penat. Sumpeknya hati dan ruwetnya akal buatku tak konsen menghadapi jalan. Lalu kakiku beradu dengan gunungan buku. Tak sengaja satu dua telah ada di bawah runcingnya heelsku.
Bersungut-sungut, maaf terlontar tak tulus. Dan aku paham betul, manusia di sisi lain dariku yang beberapa saat tadi menyadari kecerobohannya dan sedikit merasa tak enak, sedang tersinggung dengan sikapku. Sadar, dengan rela –tak rela aku membantu. Dan tepat pada buku terakhir ia menatapku, berujar terima kasih yang secara refleks aku menoleh ke arahnya dan kudapati senja di balik punggungnya.
Senja di balik punggungnya! Siluet pada wajahnya, memburamkan raut. Tapi aku yakini ia begitu elok. Ini senja terbaik yang pernah kusaksikan dan kuperhatikan. Senja, adalah latar belakang pertemuan kita. Senja, adalah hal pertama yang ku akui istimewanya. Dan Senja, adalah namamu.
Tiga tahun ini kulalui dengan kesia-siaan. Setiap senja kutunggui kau di tempat ini. Trotoar panjang dengan rindang pohon yang menggugur. Toko buku di sisi kanan, sebuah cafe di sudut pertigaan tepat lima langkah dari tempatku berdiri sekarang. Di sini, tempat kita pernah menyempatkan diri untuk berhenti meski hati menggerutu sebal. Dan kemudian duduk terpojok di sudut cafe, menghabiskan senja yang tinggal sepertiga waktunya, sambil memandangi Senja yang asik dengan buku berstempel sepatu hak tinggiku.
Satu senja, satu pertemuan. Senja yang kunikmati pertama, satu-satunya pertemuan yang kupunya. Bahkan hingga kini, tepat tiga tahun, tepat di tempat yang sama. Selama apa pun aku menunggu, sesabar apa pun aku menanti. Selamanya kau hanya siluet yang menumpang lewat di senjaku. Dan akulah jingga itu..

Yogyakarta, 22 Mei 2014

Tentang Tanyaku pada Jawab Hatinya


 Melambai pada sekumpulan waktu lalu
Berbaris masa menanti sapa
Adakah kau di dalamnya?

*Aku tahu bagaimana
Setahuku, esok pun bukan terjadi berkat pikiran dan perkiraanku

Barisan kata menyeruakkan tanya
Berbuih busa mulut berujar jawab
Namun tanya masih tetap menjadi tanda dalam benak

*Ah aku tak tahu di mana ujung ingin tahumu menepi
Tapi sudahlah jangan kau panjang kata

dan tanyaku masih menjadi tanya
menggantung pada benak
tanpa tahu kapan 'kan terjawab

Hentikan kata mengandung tanya
Angkuhmu cukup menjadi jawab

Tak ingin kuperpanjang
Karena tanya tetaplah terka jawabnya
Usah pula kau beriku tanya
Sebab jawab tetap ‘kan tiada

(Juni, 01-02 2014)